Rabu, 18 Juni 2014

BUKU SAKTI PERUBAH IMPIAN

BUKU SAKTI PERUBAH IMPIAN
“Begitulah intinya dalam hidup ini jadilah orang yang bermanfaat untuk orang lain. Cukup sampai disini. Semoga bermanfaat. Assalamualaikum warah matullahi wabarakatuh” tutupku dalam sebuah seminar hari ini.motifator kata yang cocok untukku. Dengan pakaian yang bisa di bilang  seperti pejabat-pejabat di DPR.Setelan Kemeja putih polos yang dibalut dengan Jas dan Celana Crocodil hitam beserta Sepatu hitam yang super mengkilap. Tak lupa, kaki kanan palsuku yang selalu setia mendampingi keman pun aku pergi. Hmm janga kaget  tentang kaki kanan ku. Karena dulu aku pun sama seperti kalian , sempurna. Mempunyai kedua kaki. Namun kesempurnaan itu menghilang dengan cepat karena...
@@@
“Rizki..” teriak seorang laki-laki kepada ku dari seberang jalan. Namun aku tidak bergeming. Diriku terlanjur panik karena kaget melihat sebuah truk besar berjarak hanya beberapa inci dari tubuhku. Kucoba memberontak pada tubuh ku agar bisa bergerak menghindar. Perlahan tapi pasti. Setelah merasa mulai menguasai keadaan tubuh ini, kuhempaskan tubuh ku ke samping. “Berhasil” kataku dalam hati. Namun...” krek....krekk...” terdengar jelas di telingaku dan terlihat jelas pula ketika kaki kanan ku tak terselamatkan, terlindas oleh dua ban besar  secara bergantian. Rasa sakit begitu menusuk. Melihat keadaan kakiku membuat tubuh ku terasa linu. Mataku berkedip-kedip menahan sakit. Tak kuasa menguasai keadaan kesadaranku pun hilang
@@@
Kesadaran ku kembali ketika tubuhku berada diatas sebuah ranjang rumah yang tak pernah sembuh. Ya , rumah sakit. Tubuh ku kini tak berbalut seragam sekolah lagi. Tetapi, sudah berganti menjadi baju yang di kenakan pasien rumah sakit pada umumnya. Ku lihat sekeliling ruangan tempat ku ber istirahat sementara,Mungkin. Keadaannya bersih tapi sangat sepi dan sunyi . Kulihat Hanya ada seorang wanita yang tertidur dengan posisi duduk dan menaruh kepalanya di ranjang ku. Ibu. Kulihat juga tubuh ku ada beberapa bekas lecet di pergelangan tangan “hmm. Parah juga ya” mungkin karan kemarin aku melompat ke sisi jalan. Ku coba gerak-gerakan beberapa anggota tubuh. Ah,normal-normal saja. Namun, ketika aku menggerakan kaki sebelah kanan... ada rasa yang begitu aneh dan menggangu pikiran ku. Aku tak dapat merasakan kaki itu. Seketika itu aku panik dan bertanya pada diriku sendiri kenapa ini. ? apa jangan-jangan.?. Beberapa perasangka begitu menumpuk dalam pikiran ku. Ku coba angkat selimut yang menutupi separuh tubuhkuPerlahan. Ketika ku lihat benarlah apa yang kubayangkan benar-benar terjadi.. “tidak.... kemana kaki kanan ku” teriak ku sepontan dan seketika itu membangunkan ibu yang tidur di sisi ranjang. Dan mengundang keluargaku yang menunggu di luar.
“Ibu kenapa begini.... kenapa .....?” tanya ku kapada ibu dengan tangis yang tak terasa mengalir begitu saja.“Nak sabarnya.. “ rayu ibuku.
“Rizki tidak ada pilihan lagi...
“Tapi kenapa harus amputasi” tanyaku lagi tak bisa menerima.
“syaraf-syaraf  di betis kaki kanan mu sudah terputus. Tulang mu pun remuk. Pembuluh darah mu pun banyak yang pecah sulit untuk di sambungkan lagi.....” jawab ibu lembut
“Sulit  bukan berarti tidak bisa ibu...”. bantah ku lagi
“Tapi presentase keberhasilannya kecil rizki.” Bebagai alasan ibu lontarakan dan di bantu pula oeh keluargaku yang lainnya. Yang datang karena mendengar teriakanan ku dari dalam. Perkataan mereka tak ada satu pun yang ku dengarkan. Karna  aku sudah terlanjur terjerembab dalam lubang penyesalan yang tidak dapat menerima kenyataan yang sebenarnya. Kakiku hanya 1. Hari- hariku  berubah . tidak lagi keceriaan yang mewarnainya akan  tetapi tangis dan ratap lah yang terus- menerus mengisi hari- hari ku. Namun semua itu hilang seketika dan merubah segalanya. Ketika ia datang....
@@@
“Krek...” terdengar jelas oleh telingaku suara pintu dari ujung ruangan ini yang memecah lamunan kosong ku seketika itu juga. Perlahan sosok di balik pintu itu terlihat. Orang yang sangat ku kenal. “Paman” teriakku sepontan karena girang walau akhirnya rasa itu langsung hilang karena mengingat keadaan ku yang begini. Melihat gelagatku dia pun mendekat sambil  melempar senyum. Lalu duduk di samping ranjang dan menaruh sebuah buku di atas tubuhku. Ku angkat buku itu dan  ku baca judulnya. “Semangat Bangkit Para Penyandang Cacat” aku pun tersenyum sebentar lalu menolehkan wajah ku ke hadapan paman.
“Udah cept baca cocok untuk kamu” katanya cepat ketika melihat aku menoleh kepadanya.
Tanpa kembali menoleh atau pun bertanya. langsung ku baca buku itu dengan semagat kuhayati dan ku banding-bandingkan dengan nasibku kini. Membaca buku itu bagaikan membaca kisah ku sendiri. namun, ada satu perbedaan yang sangat jelas yaitu aku belulm memulai tuk bangkit. Dalam hatiku ada rasa menyesal yang sangat, mengapa aku terlalu bodoh dalam menghadapi cobaan yang kecil ini. Kenapa aku tidak bisa menerima keyataan, yang tidak akan berubah oleh tangis penyesalan. Tiba- tiba tangis ku berubah menjadi senyuman, penyesalan berubah menjadi semangat, memenuhi tubuh dan terasa terbakar membara, membakar segala ke pesimisan hidup yang tak ada gunanya, berganti dengan ke optimisan yang mulai tumbuh dan menjadi pohon kepastian diri yang selalu berfikir positif menatap masa depan yang tidak di keketahui bagaimana.
“paman aku inigin berubah, aku mau jadi rizki yang dulu”.pintaku ke paman tiba-tiba memang. Tapi,  kata-kata itu cukup membuat paman ku senang dan bukan hanya ia saja yang senang tapi seluruh keluarga serta teman-teman ku pun ikut gembira mendengar kabar tersebut.
Setelah itu aku merasa bagaikan baru dilahirkan kembali. Apalagi dengan tambahan kaki palsu  hadiah ulang tahun dari Dokter Aryo yang begitu sabar memotivasi dan merawatku selama di rumah sakit. Dan stelah kesembuhan ku dari gangguan psikis yang berat aku siap menghadapi masa depan yang pasti terjalnya. Hingga akhirnya ya, seperti yang sekarang ini menjadi motivator ulung dan penulis buku-buku best seller berkaki satu.

Piala Sang Juara

Piala Sang Juara 
@Luthfie Ansorie
 “Aku masih ingat dahulu, jika kami bertamu ke rumah Pak Haji Sufyan, bos ayah. Ayah selalu dengan ekspresi yang sama. Ia selalu diam, terpukau. Tak pernah sedikitpun memalingkan wajahnya, apalagi mengedipkan matanya. Bukan, bukan demi melihat rumahnya yang mewah, atau bahkan barang-barangnya yang mahal dan mengkilap. Tapi demi melihat piala-piala yang terpajang rapih di etalase rumahnya itu. Ya, demi melihat piala-piala yang dari dahulu ayah impikan terpajang di rumahnya yang reot. Tak apalah baginya walaupun hanya satu buah. Apalagi jika Pak Haji Sufyan mulai berbicara, membangga-banggakan piala-piala itu. Katanya piala-piala itu hasil jerih payah anak sulungnya yang sekarang sekolah di Mesir. Hasil prestasinya mulai dari ia kecil hingga saat ini. Ah, makin terguncang saja hati ayah. Kapan anaknya bisa seperti itu. Kapan anaknya bisa memberikan satu saja piala untuknya. Yah, setidaknya piala itu bisa membuktikan kepada Pak Haji Sufyan bahwa anak orang susah seperti dia pun bisa mendapatkan piala-piala itu. Tapi terkadang optimismenya itu luntur. Kadang ia merasa dirinya lupa, bukankah ia hanya orang biasa. Berbeda dengan Pak Haji Sufyan. Pantaslah menurutnya jika anak pak Haji Sufyan jadi orang pintar. Makanannya jelas tidak sembarangan, harus bernutrisi. Tidak seperti dirinya yang hanya buruh tani. Makan tahu, tempe setiap hari.” Ungkapku pada Hasan sambil mengusap butiran air mataku yang tak terasa menetes. “Kadang aku sendiri tak habis pikir. Padahal ayah bisa saja membeli atau memesan piala-piala yang lebih bagus di toko ‘juara’ di kota. Tapi yang ayah inginkan bukan sekedar piala-piala kosong yang dibeli dengan instan. Yang ia inginkan adalah piala yang istimewa. Piala yang didapat dari jerih payah dan prestasi anak semata wayangnya. Ya, aku. Aku yang sampai saat ini belum juga bisa mewujudkan impian kecilnya.” Lanjutku. Aku menarik nafas panjang. Menyandarkan tubuhku ke tembok lalu menutup wajah dengan kedua tanganku. Menangis sesenggukan. Entah karena terharu atau karena iba melihatku menangis, Hasan yang sedari tadi duduk di sampingku juga meneteskan air matanya. Ia mengelus-ngelus tubuhku pelan mencoba menenangkan. “Aku memang anak tidak berguna San!” keluhku. “Jangan begitu, kamu salah jika menganggap dirimu seperti itu!. Mungkin Allah belum menakdirkan kamu untuk mewujudkan impian ayahmu itu. Tapi percayalah Li, suatu saat nanti kamu pasti akan mendapatkannya. Asalkan kamu mau berusaha” tuturnya. “Ah, entahlah. Mungkin memang benar. Orang susah seperti kami tidak mungkin jadi orang pintar” keluhku lagi. Kami terdiam dalam waktu yang lama. Sampai Hasan mencoba berbicara, memecah kesunyian di antara kami. “Li... tenangkanlah dirimu dulu, aku ingin berbicara sesuatu padamu” katanya sambil menutup pintu dan meninggalkanku sendiri di kamar. Sedangkan aku masih terus tenggelam dalam kesedihanku. Hingga aku mencoba melupakannya. Aku merebahkan badanku di lantai, memejamkan mataku. Pergi ke alam mimpi.
 ***
 “Kau lihat piala-piala itu?” tanya Hasan serius. Sambil menunjuk piala-piala yang berjejer rapi di etalase kantor utama pondok Al-Falah. “Ya, ada apa dengan piala-piala itu?” “Kamu kenal Ahmad tetangga kamar kita?” tanyanya lagi sambil merangkulku. "Ya, apa hubungan dia dengan piala-piala itu?” tanyaku serius. “Piala-piala itu ya miliknya. Hasil prestasinya!” jawabnya. “Benarkah?? Ahmad si hitam kurus itu?” “Ya, kamu pasti tidak akan menyangka. Tapi memang begitulah kenyataannya. Ahmad yang ternyata anak seorang buruh tani sepertimu ternyata bisa mendapatkan piala-piala yang diimpikan ayahmu itu” terangnya. Aku terdiam. “Setahuku, aku jarang sekali melihatnya makan. Makanan dia setiap hari ya hanya kitab dan buku. Dia juga dulu sama seperti kamu, sering mengeluh. Tapi lihat, buah dari usahanya sekarang dia bisa menutupi kekurangannya itu dengan prestasinya. Harusnya kamu bisa lebih dari dia Li!” lanjutnya sambil melihat kearahku. “Ingatlah, kehidupannya lebih memprihatinkan dibanding kamu, tapi dia mau berusaha!. Tidak hanya diam dan menyerahkan semuanya pada takdir. Ingatlah Allah tidak akan merubah takdir seseorang jika ia tidak mau merubahnya sendiri. Berusahalah meski harus ribuan kali. Kamu tahu Thomas Alfa Edison pencipta lampu kan?. Dia perlu berusaha ribuan kali sampai ia berhasil menyalakan lampunya yang sampai sekarang menerangi dunia dalam gelap. Semangatlah, karena akupun sedang berusaha. Aku juga ingin seperti dia” tuturnya. Aku masih terdiam. Kepalaku menunduk lemah. Kata-katanya benar-benar menusuk. Aku seperti terhempas ke tembok. Lalu sebuah energi memasukiku. Mengajak mulutku berkata: “Ya, aku bisa sepertinya, melebihinya”. Tiba-tiba aku melihat piala-piala itu ada digenggamanku, di sampingnya terletak selembar piagam yang tertulis jelas namaku. Juara satu, Ali Murtadho.
 *** 
 Gemuruh riuh peserta dan penonton MQK kabupaten Tuban membahana di pondok pesantren Hidayatul Mubtadi’in sang tuan rumah. Semua sibuk dengan kegiatannya sendiri. Namun aku di sini hanya terdiam. Di depanku tersimpan rapi piala-piala yang sama. Piala yang dulu terpampang di Rumah Haji Sufyan, piala yang dulu tersimpan di etalase pondokku. Ya, Allah sebentar lagi aku akan memilikinya bagaimana ekspresi ayah jika melihatku membawa piala itu?. Tentu ayah akan sangat senang dan bangga!. Tak terasa air mataku menetes di depan piala-piala itu. Ah, aku jadi teringat ayah, dimana dia? Padahal tadi pagi aku sudah meneleponnya. Apakah dia tidak akan hadir?. Ah jangan ya Allah. Aku ingin ia melihatku membawa piala-piala itu. Aku ingin melihatnya tersenyum!. “Ali...!” seseorang tiba-tiba memanggilku dan menyentuh pundakku. Aku menoleh ke belakang. “Oh, Ahmad. Ada apa?” “Ayo kita ke bangku penonton. Sebentar lagi pengumuman pemenang” “Wah, sudah selesai ya lombanya?. Ya sudah duluan, nanti aku menyusul!” Aku memandang piala-piala itu untuk yang kesekian kali kemudian meninggalkannya lalu berjalan menuju bangku penonton. Puncak acara sudah dimulai. Semua peserta merasakan hal yang sama, cemas antara menang atau tidak. Mereka menyimak dengan seksama saat pembawa acara mulai mengumumkan para juara. “Hadirin sekalian, juara pertama lomba membaca kitab Hidayatul Adzkiya dimenangkan oleh saudara Ahmad dari pondok Al-Falah” Semua penonton bersorak menyambut Ahmad sang juara bertahan menaiki panggung. Membawa piala yang pertama. Satu persatu para juara dipanggil dan sedikit demi sedikit nama-nama itu menambah poin untuk pondok Al-Falah, hingga hampir menjadikannya juara umum. “Dan yang terakhir, juara membaca kitab Al-Jurumiyyah diraih oleh saudara Ali Murtadho dari pondok pesantren Al-Falah yang sekaligus mengantarkan Pondok Pesantren Al-Falah menjadi juara umum!” Aku menaiki panggung diiringi sorak-sorai penonton. Membawa piala pertamaku, piala yang diimpikan ayah sejak dari dulu. Namun aku masih sibuk mencari kesetiap sudut lapangan. Mencari dimana ayah berada. Dan akhirnya kau menemukannya di belakang, ia melambai-lambaikan tangannya dan tersenyum kepadaku. Aku mengangkat piala itu dan membalasnya dengan senyuman. Kami turun dari panggung diiringi sorakan dari suporter Al-Falah, mereka menyambut kami di bawah panggung, lalu mengangkat-ngangkat tubuh kami dan mengelu-ngelukan nama kami dan Al-Falah. Aku turut tenggelam dalam kebahagiaan, mengangkat-ngangkat pialaku bangga, hingga tak sengaja aku melepaskannya. PRAANNGG!!! Piala itu terjatuh, pecah, dan terinjak injak oleh kaki-kaki mereka. Aku segera turun dari pangkuan mereka, kemudian mendekati pecahan-pecahan piala itu, dan memandangnya lemah. “Pialaku....”
 ***
 Pagi. Dalam kamar yang sunyi itu, aku masih memegang pecahan-pecahan piala itu. “Hancur sudah impianku”. Aku membuang pecahan piala itu. Menangis sejadinya, sambil menutupi wajahku. Hingga tiba-tiba seseorang mendekatiku, memanggil namaku. Aku mendongakkan kepalaku. Bangkit, lalu memeluknya. “Ayah, maafkan aku” ucapku lemah. “Li, biar seribu piala yang pecahpun ayah tak apa. Bagi ayah kamu tetap juara, meski tanpa piala-piala itu. Ayah bangga memilikimu. Ayah selama ini buta. Menganggap piala-piala itu segalanya, menganggap piala-piala itu cermin prestasimu yang bisa ayah banggakan. Tapi ayah salah nak, Kaulah segalanya untuk ayah. Kaulah yang harusnya ayah banggakan, karena kaulah sang juara di hati ayah, meski tanpa piala-piala itu” *** Langitan, Selasa 08 April 2014 *Ingatlah kawan, piala-piala itu adalah hak siapapun yang berusaha mendapatkannya. Maka, jadilah pemimpinya.